Mendagri Kesal Anggaran Pemda Habis Untuk Gaji dan Bonus Pegawai

oleh -169 Dilihat

Jakarta,reformasinews.com


— Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menyentil pemerintah daerah (pemda) yang anggarannya habis untuk membayar gaji dan bonus pegawai. Apalagi yang digunakan hasil pemberian pemerintah pusat melalui transfer ke daerah (TKD.

Menurut Tito, kekuatan fiskal di daerah ada tiga yakni kuat, sedang dan lemah. Kategori lemah inilah yang paling boros menggunakan dananya untuk pegawai, mulai dari gaji, bonus hingga operasional.

“Daerah yang fiskalnya tidak kuat ini, itu uangnya sudah dapat dari pusat, transfer (TKD), uangnya habis sebagian besar untuk belanja pegawai, untuk gaji pegawai ditambah bonus, dan operasional pegawai,” ujar Tiko dilansir cnnindonesia dalam Seminar Internasional Desentralisasi Fiskal 2024, Selasa (24/9).

Berdasarkan data Tito, pemerintah pusat menyalurkan TKD sekitar 26-47 persen untuk wilayah yang fiskal atau pendapatan asli daerah (PAD) nya kuat dan 52-60 persen kepada pemda yang fiskalnya sedang. Sedangkan untuk wilayah yang fiskalnya rendah diberikan 63-90 persen.

Wilayah yang menerima TKD sebesar 90 persen ini lah yang paling boros menggunakan dana untuk pegawai. Besarannya mencapai 60 persen dari anggaran yang diterima sehingga pemanfaatan untuk masyarakat berkurang.

“Kekuatan fiskalnya lemah ini ditandai dengan ketergantungan sangat tinggi terhadap transfer dari pemerintah pusat sampai 90 persen. Ini yang jadi problem,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Tiko menegaskan tengah berupaya mengubah pemikiran daerah untuk bisa lebih kreatif dan inovatif agar bisa meningkatkan PAD nya sehingga tak hanya menunggu kiriman dari pemerintah pusat.

“Nah, untuk bisa membuat ini, supaya pendapatan asli meningkat, karena kalau PAD-nya meningkat, otomatis fiskal mereka kuat. Ada goncangan di pusat, mereka tetap akan jalan terus,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menekankan agar pemda mengurangi belanja operasional yang tak penting seperti perjalanan dinas, rapat di hotel hingga rekrutmen pegawai, terutama honorer.

“Kemudian rapat-rapat dikurangi. Rekrutmen pegawai termasuk honorer juga dikurangi. Ganti digitalisasi, dorong masyarakatnya jangan jadi pegawai negeri saja, tapi menjadi wirausahawan, UMKM,” kata Tito.

Terkait dengan pegawai honorer, ia menyebutkan itu membuat repot karena rekrutmennya dilakukan bukan karena keahlian atau kebutuhan tapi berdasarkan rekomendasi pejabat yang terpilih.

“Kenapa kadang-kadang yang repot itu, terutama honorer. Honorer ini banyak, ada 3 ya, ada yang skill itu pendidikan, kesehatan, terutama ya, dokter, bidan, final. Tapi yang tenaga umum itu tim sukses. Mereka begitu menang yang didukung, dijadikan tenaga honorer. Jam 8 datang, jam 10 sudah pulang,” imbuhnya.

Namun, saat pejabat yang membawa timses berakhir masa kerjanya, pegawainya tidak dibawa. Lalu, pejabat baru akan membawa gerombolannya juga, sehingga terjadi penumpukan.

“Nanti kalau ganti kepala daerah, terpilih lagi, yang tim sukses yang lama honorer masih tetap ada, diberhentikan mereka marah, demo, yang tim sukses pejabat yang baru, kepala daerah baru, nambah lagi,” terangnya.

Karenanya, ia berencana untuk mengatur porsi honorer di setiap pemda. Hal ini akan dibahas bersama dengan kementerian terkait.

“Kalau pendapat saya perlu diatur. Nanti harus dibicarakan, tiap daerah butuhnya beda. Itu harus dibicarakan supaya nyetop ini,” pungkasnya.(rr)